Minang atau Minangkabau adalah kelompok etnik Nusantara yang
berbahasa dan
menjunjung adat Minangkabau. Wilayah penganut kebudayaannya meliputi Sumatera Barat, separuh daratan Riau,
bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi,
bagian selatan Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan
juga Negeri Sembilan di Malaysia. Dalam
percakapan awam, orang Minang seringkali disamakan sebagai orang Padang,
merujuk kepada nama ibukota propinsi Sumatera Barat yaitu kota Padang.
Namun masyarakat ini biasanya akan menyebut kelompoknya dengan
sebutan Urang Awak (bermaksud sama dengan orang Minang itu sendiri).
Menurut A.A. Navis, Minangkabau lebih kepada kultur etnis dari suatu
rumpun Melayu yang tumbuh dan besar karena sistem
monarki, serta menganut sistem adat yang khas, yang dicirikan dengan
sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal, walaupun
budayanya juga sangat kuat diwarnai ajaran agama Islam. Saat
ini masyarakat Minang merupakan masyarakat penganut matrilineal terbesar di
dunia. Selain itu, etnik ini juga telah menerapkan sistem proto-demokrasi sejak
masa pra-Hindu dengan adanya kerapatan adat untuk menentukan
hal-hal penting dan permasalahan hukum. Prinsip adat Minangkabau tertuang
singkat dalam pernyataan Adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah (Adat
bersendikan hukum, hukum bersendikan Al-Qur'an)
yang berarti adat berlandaskan ajaran Islam.
Orang
Minangkabau sangat menonjol dibidang perniagaan, sebagai profesional dan
intelektual. Mereka merupakan pewaris terhormat dari tradisi tua Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang
gemar berdagang dan dinamis. Hampir separuh jumlah keseluruhan anggota
masyarakat ini berada dalam perantauan. Minang perantauan pada umumnya bermukim
di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Medan, Batam,Palembang,
dan Surabaya. Di luar wilayah Indonesia, etnis Minang banyak
terdapat di Negeri Sembilan, Malaysia dan Singapura.
Masyarakat
Minang memiliki masakan khas yang populer dengan sebutan masakan Padang, dan sangat digemari di Indonesia bahkan
sampai mancanegara.
Adat dan
budaya Minangkabau bercorakkan keibuan (matrilineal), dimana pihak perempuan
bertindak sebagai pewaris harta pusaka dan kekerabatan. Menurut tambo, sistem adat Minangkabau pertama kali dicetuskan oleh
dua orang bersaudara, Datuk Perpatih Nan
Sebatang dan Datuk Ketumanggungan. Datuk Perpatih mewariskan sistem adat Bodi Caniago
yang demokratis, sedangkan Datuk Ketumanggungan mewariskan sistem adat Koto
Piliang yang aristokratis. Dalam perjalanannya, dua sistem adat yang dikenal
dengan kelarasan ini saling isi mengisi dan membentuk sistem
masyarakat Minangkabau.
Dalam
masyarakat Minangkabau, ada tiga pilar yang membangun dan menjaga keutuhan
budaya serta adat istiadat. Mereka adalah alim ulama, cerdik pandai, dan ninik
mamak, yang dikenal dengan istilah Tali nan Tigo Sapilin. Ketiganya
saling melengkapi dan bahu membahu dalam posisi yang sama tingginya. Dalam
masyarakat Minangkabau yang demokratis dan egaliter, semua urusan masyarakat dimusyawarahkan
oleh ketiga unsur itu secara mufakat.
Bahasa
Minangkabau merupakan salah satu anak cabang bahasa Austronesia. Walaupun ada
perbedaan pendapat mengenai hubungan bahasa Minangkabau dengan bahasa Melayu, ada yang menganggap bahasa yang dituturkan masyarakat
ini sebagai bagian dari dialek Melayu, karena banyaknya kesamaan kosakata dan
bentuk tuturan di dalamnya, sementara yang lain justru beranggapan bahasa ini
merupakan bahasa mandiri yang berbeda dengan Melayu serta ada juga yang
menyebut bahasa Minangkabau merupakan bahasa proto-Melayu.
Rumah adat
Rumah adat
Minangkabau disebut dengan Rumah Gadang, yang biasanya dibangun di
atas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku tersebut secara turun
temurun. Rumah Gadang ini dibuat berbentuk empat persegi panjang dan
dibagi atas dua bagian muka dan belakang. Umumnya berbahan kayu, dan
sepintas kelihatan seperti bentuk rumah panggung dengan atap yang khas,
menonjol seperti tanduk kerbau yang biasa disebut gonjong dan
dahulunya atap ini berbahan ijuk sebelum berganti dengan atap seng.
Namun hanya
kaum perempuan dan suaminya, beserta anak-anak yang jadi penghuni rumah gadang.
Sedangkan laki-laki kaum tersebut yang sudah beristri, menetap di rumah
istrinya. Jika laki-laki anggota kaum belum menikah, biasanya tidur di surau.
Surau biasanya
dibangun tidak jauh dari komplek rumah gadang tersebut, selain berfungsi
sebagai tempat ibadah, juga berfungsi sebagai tempat tinggal lelaki dewasa
namun belum menikah.
Perkawinan
Dalam adat
budaya Minangkabau, perkawinan merupakan
salah satu peristiwa penting dalam siklus kehidupan, dan merupakan masa
peralihan yang sangat berarti dalam membentuk kelompok kecil keluarga baru
pelanjut keturunan. Bagi lelaki Minang, perkawinan juga menjadi proses untuk
masuk lingkungan baru, yakni pihak keluarga istrinya. Sedangkan bagi keluarga
pihak istri, menjadi salah satu proses dalam penambahan anggota di komunitas rumah gadangmereka.
Dalam prosesi
perkawinan adat Minangkabau, biasa disebut baralek, mempunyai
beberapa tahapan yang umum dilakukan. Dimulai dengan maminang(meminang), manjapuik
marapulai (menjemput pengantin pria), sampai basandiang (bersanding
di pelaminan). Setelah maminang dan muncul kesepakatanmanantuan
hari (menentukan hari pernikahan), maka kemudian dilanjutkan dengan
pernikahan secara Islam yang
biasa dilakukan di Mesjid,
sebelum kedua pengantin bersanding di pelaminan. Pada nagari tertentu
setelah ijab kabul di depan penghulu atau tuan
kadi, mempelai pria akan diberikan gelar baru sebagai panggilan penganti
nama kecilnya.[29] Kemudian
masyarakat sekitar akan memanggilnya dengan gelar baru tersebut. Gelar
panggilan tersebut biasanya bermulai dari sutan, bagindo atau sidi di
kawasan pesisir pantai. Sedangkan di kawasan luhak limo puluah,
pemberian gelar ini tidak berlaku.
http://rizkynuryandi.blogspot.com/2011/04/adat-istiadat-minangkabau.html
0 komentar:
Posting Komentar