Demokrasi
adalah suatu sistem yang bertumpu pada pembagian kekuasaaan (sharing of power)
dan/atau pembagian tanggungjawab (sharing of responsibility). Persoalan siapa
yang harus bertanggungjawab untuk menjawab ancaman keamanan tertentu menjadi
rumit dan politikal: rumit, karena perkembangan konsep dan ketidapastian setelah
berakhirnya Perang Dingin; dan politikal: karena landasan konstitusional,
sejarah, maupun realita politik bisa menjadi kekuatan inersia untuk membangun
pola pembagian kerja baru. Terlebih lagi, beberapa ketentuan perundangan yang
ada tidak operasional, tidak mengacu pada pengertian yang sama, misalnya
tentang operasi militer selain perang, atau yang disusun pada konteks politik
yang sama sekali berbeda dengan semangat reformasi.
Dalam
beberapa hal ini misalnya intelijen, bahkan belum ada ketentuan perundangan
yang cukup demokratik. Ketentuan mengenai perbantuan militer (perkuatan Polri)
hanya diatur dalam peraturan pemerintah - sesuatu yang sah menurut UU
Kepolisian Negara tetapi tidak sesuai dengan ketentuan dalam TAP MPR. Lebih
sulit lagi, tugas TNI, menurut UUD 1945 (pasal 30 ayat 3) adalah
mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. TAP
MPR VII (pasal 2 ayat 2) merujuk pada “menegakan kedaulatan negara, keutuhan
wilayah, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah dari ancaman
dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara”. TAP MPR tidak banyak
menjelaskan, bahkan membuat komplikasi dengan memasukkan “segenap bangsa dan
seluruh tumpah darah” dan spektrum ancaman yang all inclusive, seperti terlihat
dari “ancaman dan gangguan”. UU No. 3 menambah soal menjadi semakin rumit
dengan masuknya “kehormatan - keselamatan bangsa” (pasal 10).
Tidak
mengherankan jika upaya untuk menjamin keamanan nasional di masamasa yang akan
datang, memerlukan penyusunan dan/atau rumusan ulang ketentuan perundangan
mengenai, antara lain, keamanan nasional, pertahanan negara, TNI, kepolisian,
Polri, intelijen, rahasia negara dan kebebasan informasi, ketentuan darurat,
perbantuan tentara, belanegara, sumberdaya alam, sumberdaya pertahanan,
penanggulangan terorisme, pencucian uang, penyelundupan lintas batas, dan
beberapa yang lain. Tentu. selain diperlukan kerangka kebijakan dan
aturan-aturan pelaksana undang-undang. Tidak dapat dihindari, seluruh ketentuan
perundangan itu perlu sekaligus rnemenuhi keharusan untuk mampu menciptakan
mekanisme pelaksanaan yang efektif tanpa mengurangi kadar demokrasi dan
perlindungan hak-hak asasi manusia.
Karangan Fiksi
Disini saya akan menceritakan karangan fiksi yang bertemakan “CINTA”,
Dengan Judul.............
Ukhti,
Tunggu Aku Menjadi Ikhwan
Namaku Rio, lengkapnya
adalah Rio Irwan Anggara. Putra seorang pengusaha kaya raya yang memiliki
banyak cabang di berbagai pelosok kota di Indonesia. Fisikku tampan, berkulit
putih, dan tentunya memiliki senyuman maut yang dapat meluluhkan semua siswi di
sekolahku. Ah tidak, kurasa dugaannku salah kali ini. Di suatu pagi saat aku
telah memasuki area sekolah, aku disambut banyak fans yang tentunya telah
menantiku di hari itu yang menggunakan mobil sport keluaran terbaru.
Sekeluranya aku dari benda beroda itu, aku dikelilingi oleh banyak wanita yang
tidak lain merupakan siswa yang sama denganku, SMA Citra Bangsa, sekolah para
anak pengusaha kaya dan bonafid di area Jakarta pusat.
Disaat aku tengah asyik
menikmati kerumunan para gadis-gadis cantik itu, aktivitasku terhenti setelah
dua teman setiaku menghampiri.
“Hey Bro, bawa mobil
baru lagi nih!” ujar Fano, menyapaku.
“Yoi bro, biasa lah..
bokap gue lagi baik.” Jawabku yang sedang sibuk mengeluarkan diri dari
kerumunan.
“Hebat loe bro, gue aja
minta dari dua bulan yang lalu nggak direspon-respon sama bokap. Padahal, dia
baru menangani proyek real estate. Pelit dia.” Dion curhat padaku dan Fano.
Begitulah yang terjadi
jika ketiga anak pengusaha-pengusaha seperti kami berkumpul. Selalu saja saling
pamer dan membicarakan hal-hal yang terdengar mengasyikkan.
Tiba-tiba perbincangan
kami terhenti saat seorang gadis cantik berjilbab lebar kali panjang
melangkahkan kakinya melewati kami dengan langkah menunduk.
“Alah.. dia itu sok
alim bro. Di kelas saja jarang bicara, pelit kata-kata.” Adu Fano dengan
menampakkan tatapan tidak suka pada gadis itu.
Anehnya, aku merasakan
sesuatu yang tidak biasa di hatiku, ada sesuatu yang bergetar tatkala kulihat
wajah menunduknya yang terlihat bercahaya.
“Bro, mau tantangan?”
tawar Dion sembari menatap gadis itu.
Tanpa kelanjutan kata
pun aku sudah paham dengan maksudnya, ia menantangku untuk mendaparkan seorang
gadis berjilbab seperti dia.
“Oke, kalau gue bisa
bagaimana?” sahutku mantap.
“Gue akan ngasih ticket
VIP pertandingan tim favorit loe, Barcelona vs Real Madrid. Nah, secara
otomatis waktu loe dua bulan untuk menaklukan hati tuh cewek.” Papar Fano
kemudian.
Setelah aku menyepakati
perjanjian tersebut, aku pun segera melarikan diri menuju kelas yang dimana
kedua sahabatku tak berada dalam satu kelas yang sama.
Tepat di hari senin,
aku bergegas melajukan mobil sport merahku menuju sekolah dengan jam yang masih
menunjukkan pukul 6 pagi. Rencananya, hari ini aku akan mencoba menggoda gadis
itu dengan memberikannya setangkai mawar putih beserta untaian kata-kata manis
yang merupakan hasil otak kreatifku.
Suasana sekolah
terlihat lengang saat mobilku telah berhasil memasuki kawasan belajar itu.
Sehari, dua hari, tiga hari, aku selalu mendapati pemandangan yang sungguh
mencengangkan. Setiap hari, aku melihat kiriman bunga dan surat cintaku ia
buang ke tempat sampah sebagai benda yang layaknya tak bernilai. Untungnya, aku
tak pernah menuliskan namaku sebagai identitas pengirim. Alhasil, kedua
sahabatku mulai mengejek dan mengolok diriku.
“Cih, baru kali ini aku
melihatmu ditolak!” ejek mereka.
Airina Tasya, itulah
nama gadis yang kurasa sangat sombong itu. Ia belum tahu bagaimana sifatku, aku
takkan menyerah sebelum aku mendapatkan sesuatu yang kuinginkan. Kalau enam
hari yang lalu aku mengiriminya bunga, enam hari yang akan datang kembali
berbeda. Kali ini aku mengiriminya cokelat yang kurasa adalah favoritnya. Namun
lihat, apa yang ia lakukan dengan cokelat-cokelat pemberianku? Ia memberikannya
pada puteri Pak Hendri, satpam yang menjaga pintu gerbang sekolah. Memalukan
sekali bukan!
Aku telah mendapatkan
keputusan dari pemikiran panjangku selama hampir lima jam. Aku akan menemuinya
dan mengatakan bahwa aku benar-benar mencintainya. Aku mengaku, aku benar-benar
tertarik padanya.
“Airin, kamu Airin
kan?” tanyaku yang saat itu tak sengaja melihatnya di kantin.
“Ya. Ada apa?” katanya
dengan nada tegas.
“Aku suka sama kamu!”
ucapku setelah mengambil oksigen beberapa saat.
Tanpa menjawab, ia
meninggalkanku yang masih berdiri di tempat. Ah, memalukan sekali! Aku tidak
menyerah, aku mengejarnya dan berusaha meraih tangannya untuk menghentikannya,
namun tiba-tiba seorang gadis tomboy yang kurasa bernama Irma menghadangku.
“Hey Rio, Airin itu
nggak bakal suka sama kamu. Dia Cuma suka Ikhwan alim. Yang tahu agama, yang
bisa ngebimbing dia mencari cinta sejati.” Papar Irma padaku.
“Sok tau loe!” sergah
ku.
“Asal loe tau ya, itu
semua impian para gadis kaya Airin. Gue baca di novel!” katanya lagi.
Hari-hari terlewati
dengan pemikiranku yang terus tertuju kepada Airin beserta uraian yang telah
dipaparkan secara tegas oleh Irma padaku. Waktu pun telah berlalu dan
terlewatilah 60 hari masa waktuku untuk meluluhkan hatinya. Aku bisa saja
gembira karena tidak perlu lagi mengumpulkan kecerdasan otakku untuk mengolah
ide kreatif guna memberinya kejutan. Masalah yang kumiliki sekarang adalah
bahwa aku menyukainya. Ah tidak, kurasa aku mencintainya, benar-benar mencintainya.
Dari berbagai sumber yang telah kuketahui, kudapatkan sebuah informasi menarik
agar bisa mendapatkan hati sang bidadari seperti Airin. Ya, aku akan berpindah
sekolah menuju tempat yang menurut pemikiran kolotku dahulu adalah sebuah
penjara yang bernama Pesantren.
Perpisahan dengan dua
sahabat karibku telah dilakukan, dan inilah saat terakhir yang telah
kunantikan. Aku ingin meliahat pemompa semangatku yang terakhir kali.
“Airin, ini untukmu. Ku
mohon, jangan dibuang ya.” Pintaku dengan memberi sebuah kado padanya.
Aku pun memasuki mobil
setelah menemuinya yang saat itu telah bersiap untuk memasuki mobil
jemputannya.
“Airin, tunggu aku
menjadi Ikhwan ya…” teriakku dari jendela mobil.
Ya, samar-samar aku
melihatnya tersenyum. Manis sekali! Baiklah, aku berjanji padamu. Tunggulah aku
menjadi ikhwan…
“Airin, Tunggu aku
menjadi Ikhwan! Aku berjanji..”
0 komentar:
Posting Komentar