Total Tayangan Halaman

Minggu, 05 Juli 2015

SARA ( Suku, Agama dan Ras antar golongan )

Definisi SARA 
SARA adalah singkatan dari Suku Agama Ras dan Anatomi / Antar golongan.
Sara merupakan tindakan diskriminatif yang menyangkut Suku,Agama,Ras Anatomi dan Antar Golongan.
Diskriminasi sendiri dibagi menjadi 2 yaitu:

Diskriminasi langsung, terjadi saat hukum, peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik tertentu, seperti jenis kelamin, ras, dan sebagainya, dan menghambat adanya peluang yang sama.

Diskriminasi tidak langsung, terjadi saat peraturan yang bersifat netral menjadi diskriminatif saat diterapkan di lapangan.


Suatu realitas yang tak terbantahkan bahwa tidak satu negara pun di dunia yang memiliki identitas nasional yang tunggal. Tidak ada negara yang dihuni hanya oleh satu suku bangsa. Negara mana oun di dunia sekarang selalu didukung oleh pluralitas penduduk dari segi etinik. Implikasi dari pluralitas etnik adalah lahirnya pluralitas dalam aspek budaya , bahasa, agama , bahkan kelas sosial dalam satu negara. Lebih – lebih Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau yang tersebar di Nusantara dan memiliki ratusan etnik. Di sisi lain , karakteristik pluralitas Indonesia adalah kompleksitasnya di dalam hal etnik dan agama. Di Indonesia terdapat tidak hanya puluhan etrnis , melainkan ratusan etnis dengan bahasa dan budayanya masing-masing yang satu dengan lainnya berbeda. Selain itu, berbagai etnik itu pada umumnya menganut agama masing-masin yang satu dengan yang lainnya berbeda.
Di Indonesia terdapat banyak sekali agama yang di akui oleh negara yaitu :
Islam,Kristen,Katolik,Hindu,Budha dan Kong Hu Cu. Karena Bhineka Tunggal Ika terasa pas dengan kondidi bangsa Indonesia yang denikian majemuk dan hoterogen.
Dengan pluralitas komponen bangsa Indonesia itu, di satu sisi kita dapat menghimpun dan mengembangkan berbagai potensi bangsa yang ada. Pluralitas budaya yang ada di tanah air misalnya, merupakan kekayaan yang tiada tara dan harus disyukuri. Namun, di sisi lain pluralitas tradisi dan agama, mudah sekali menimbulkan gesekan antarberbagai kelompok komunal, yang pada gilirannya akan dapat memunculkan kekerasan sosial.
Lebih jauh, pluralitas bangsa Indonesia itu ternyata sangat rentan terhadap tindak kekerasan akibat konflik sosial terutama antar-etnik dan antar-agama, di samping antarkelas dan antar-golongan, yang dalam pembinaan politik di Indonesia pada zaman orde baru lazim disebut dengan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan).
Konflik dan Komponennya
Seperti halnya istilah lain, pengertian konflik beraneka ragam yang dikemukakan para pakar. Umumnya, perbedaan pengertian itu muncul sebagai akibat adanya perbedaan fokus atau penekanan. Coser (1956) misalnya, menekankan aspek perilaku konflik. Fokus terhadap perilaku konflik itu sangat populer di kalangan peneliti konflik dan masyarakat pada umumnya. Sedangkan Boulding (1962) lebih memfokuskan pada situasi yang melatari konflik, seperti persaingan dan ketidakselarasan (incompatibility). Lain lagi dengan definisi Kriesberg (1982) yang lebih menekankan pada keyakinan (belief) dengan anggapan bahwa konflik terjadi jika pihak-pihak meyakini tujuan mereka bertentangan satu dengan lainnya. Adapun Pruitt dan Rubin (1986) menekankan pada persepsi dan keyakinan mengenai ketidakselarasan kepentingan (seperti nilai dan kebutuhan) dan aspirasi (tujuan dan tolok ukur) (dalam Panggabean, 1998: 9). Beberapa definisi sekitar konflik di atas perlu diperhatikan mengingat masing-masing definisi itu menekankan dimensi tertentu dalam konflik. Dari empat definisi konflik di atas tercakup tiga komponen pokok konflik yang dapat dicermati, yakni:
(1)Kondisi yang mendahului konflik
(2)Perilaku konflik dan
(3) Aspek-aspek kognetif dan afektif konflik.
Ketiga komponen utama konflik tersebut selanjutnya juga penting diperhatikan dalam kerangka menganalisis konflik. Dalam arti ketika kita menganalisis fenomena atau peristiwa
konflik tertentu. Konflik merupakan bagian dari suatu kehidupan di dunia yang kadang tidak dapat dihindari. Konflik umumnya bersifat negatif, karena ada kecenderungan antara pihak-pihak yang terlibat konfilk saling bertentangan dan berusaha untuk saling meniadakan atau melenyapkan. Dalam hal ini yang bertentangan dianggap sebagai lawan atau musuh. Di sinilah letak perbedaan konflik dengan rivalitas atau persaingan. Meskipun dalam rivalitas terdapat kecenderungan untuk mengalahkan, namun tidak mengarah pada saling meniadakan saingan atau kompetitor. Saingan atau tidak dianggap musuh yang harus dilenyapkan. Untuk memahami lebih dalam mengenai konflik sosial, cobalah kerjakan aktivitas berikut ini.
Menurut Minnery, mendefinisikan konflik sebagai interaksi antara dua atau lebih pihak yang satu sama lain saling bergantung namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan di mana setidaknya salah satu dari pihak-pihak tersebut menyadari perbedaan tersebut dan melakukan tindakan terhadap tindakan tersebut (Minnery 1985, hal 35). Dalam sosiologi konflik disebut juga pertikaian atau pertentangan. Pertikaian adalah bentuk persaingan yang berkembang secara negatif. Hal ini berarti satu pihak bermaksud untuk mencelakakan atau berusaha menyingkirkan pihak lainnya. Dengan kata lain, pertikaian merupakan usaha penghapusan keberadaan pihak lain. Pengertian ini senada dengan pendapat Soedjono. Menurut Soedjono (2002:158), pertikaian adalah suatu bentuk interaksi sosial di mana pihak yang satu berusaha menjatuhkan pihak yang lain atau berusaha mengenyahkan rivalnya. Sedangkan menurut Soerjono Soekanto (1989:86), pertentangan atau pertikaian atau konflik adalah suatu proses yang dilakukan orang atau kelompok manusia guna memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai ancaman dan kekerasan. Oleh karena itu, konflik diidentikkan dengan tindak kekerasan. Konflik dapat pula diartikan sebagai suatu perjuangan memperoleh hal-hal yang langka, seperti nilai, status, kekuasaan, otoritas, dan sebagainya gunamemperolehkeuntungan.Oleh karena itu setiap pihak yang berkonflik berusaha menundukkan saingannya dengan menggunakan segala kemampuan yang dimiliki agar dapat memenangkan konflik tersebut. Tindak kekerasan dianggap tindakan yang tepat dalam mendukung individu mencapai tujuannya.
Contoh Kasus :
KERUSUHAN POSO
Pada tahun 1998, terjadi kerusuhan di kabupaten Poso, Sulawesi tengah, Indonesia. Kerusuhan ini dikenal dengan sebutan kerusuhan Poso. Kerusuhan poso berpusat pada masalah tempat pertikaian antara umat Islam dan Kristen.
Kasus Poso berlangsung hampir dua tahun yaitu sejak Desember 1998 sampai Juni 2000 dan terbagi atas tiga bagian, masing-masing kerusuhan jilid I (25 – 29 Desember 1998) jilid II ( 17-21 April 2000) dan jilid III (16 Mei – 15 Juni 2000) serta telah menelan korban tewas hampir 300 jiwa, ratusan orang tak diketahui nasibnya.
Akan tetapi, sampai akhir tahun 2005, kekerasan masih terjadi di Kabupaten Poso antara lain persitiwa pemenggalan kepala siswa sekolah menengah atas, juga sebelumnya terjadi ledakan bom. Kekerasan dan pembunuhan tampaknya belum berhenti dari bumi Sintuwu Maroso[1] (Poso). Berbagai tindakan itu telah menambah daftar panjang korban kekerasan yang telah terjadi sejak pecah konflik tahun 1998. Pada tahun 2001, tepatnya 20 Desember, Deklarasi Malino[2] yang bertujuan untuk memadamkan pertikaian antara umat islam dan kristen telah ditandatangani oleh kedua belah pihak dan diinisiasi oleh Jusuf Kalla dan Susilo Bambang Yudhoyono.
1.1 Deskripsi Poso
Poso merupakan salah satu Kabupaten dari 8 daerah tingkat II Provinsi Sulawesi Tengah, dengan luas wilayah sekitar 7.897 km2, terdiri atas 18 Kecamatan. Pada tahun 2009, penduduk Kabupaten Poso berjumlah 209.032 jiwa[3]. Beberapa suku asli mendiami kawasan ini, antara lain suku Pamona, Lore, Mori, Bungku, dan Tojo/Una-una. Suku-suku pendatang dalam jumlah besar berasal dari Sulawesi Selatan (Bugis, Makasar, dan Toraja) dan Sulawesi Utara (Gorontalo dan Minahasa), di samping puluhan ribu pendatang yang secara terencana didatangkan Pemerintah melalui program transmigrasi dari Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
Di kalangan suku-suku asli, orang Pamona, Lore, dan Mori dikenal sebagai penganut agama Kristen (umumnya Protestan). Sementara orang Ampana dan Tojo/Una-una dikenal sebagai penganut Islam. Kaum pendatang, Bugis/Makasar dan Gorontalo dan transmigran dari Jawa dan sebagian Nusa Tenggara adalah penganut.Islam. Sementara penganut Kristen di kalangan Kristen berasal dari Toraja dan Minahasa, dan dikalangan transmigran dari sebagian Nusa Tenggara dan Jawa.
1.2 Kronologis Kerusuhan
Pada hari jumat tanggal 25 Desember 1998, pkl. 02.00 Wita : Terjadi penganiayaan di mesjid Darusalam Kel. Sayo terhadap Korban yang bernama Ridwan Ramboni, umur 23 tahun, agana Islam, suku Bugis palopo, pekerjaan mahasisiwa, alamat Kel. Sayo, yang dilakukan oleh Roy Runtu Bisalemba, umur 18 tahun, agama Kristen protestan, suku pamona, pekerjaan, tidak ada, alamat jl. Tabatoki – sayo. Akibat penganiayaan korban mengalami luka potong dibagian bahu kanan dan siku kanan,selanjutnya dirawat di RSU Poso. Pkl. 02.30, Timbul reaksi dari pemuda-pemuda Remaja mesjid terhadap kasus yang dimaksud dan beredar isu –isu sbb:
  • Pelaku penganiayaan (Roy Bisalemba) terpengaruh minuman keras, sehabis minum di toko lima di jalan Samratulangi.
  • Anak kandung pemilik toko lima (Akok) WNI keturunan cina di isukan telah melontarkan kata-kata “Umat Islam kalau buka puasa pake RW saja.”
  • Imam masjid di Sajo telah dibacok didalam masjid hingga di Opname I Rumah Sakit.
Pkl.14.30 Wita. Sekelompok pemuda/remaja Islam Masjid Ke Kayamanya berjumlah 50 orang mengendarai truk turun di muka RSU Poso, menengok Korban Lk.LUKMAN RAMBONI, selanjutnya berjalan menuju took LIMA dijalan Samratulangi melakukan pelemparan took tersebut dengan batu dan kayu. Pkl.14.45 Wita, Sasaran pengrusakan diarahkan kerumah tempat tinggal penduduk milik tersangka (ROY BISALEMBA) dijalan Yos Sudarso Kel. Kasintuwu dan beberapa rumah keluarga tersangka di jalan Tabatoki Kel.Sayo. Massa merusak bangunan dan isi perabot rumah tangga dengan batu, kayu, dan senjata tajam. Pkl. 15.15 Wita. Sekelompok pemuda/remaja berjumlah sekitar 300 orang merusak penginapan dan diskotik DOLIDI NDAWA di Jln.P.Nias Kel.Kayamanya, menggunakan batu dan kayu. Pkl. 18.45. Wita .Massa berjumlah 300 orang merusak tempat Billyard dijalan P.Sumatra Poso. Selanjutnya massa dari ummat Islam kel.Kayamanya bergabung dengan massa kelurahan Moenko berjumlah sekitar 1000 orang melakukan pengrusakan losmen/diskotik LASTI dijalan P.Seram Kel.Gebang Rejo, hingga bangunan rumah dan diskotik serta isi rumah dan beberapa ratus botol minuman keras dihancurkan.
Pkl. 19.00 Wita, Pasukan PAM PHH memblokade massa dijembatan penyembrangan kuala Poso yang bermaksud untuk bergabung dengan massa remaja Islam Masjid kel. Bone Sompe dan Kel.Lawanga . Terjadi sedikit ketegangan antara aparat dengan massa yang tetap memaksakan kehendaknya menembus barisan PHH, namun massa dapat dikendalikan. Pkl. 20.20 Wita, Sebagian massa yang terbendung pasukan PHH kembali menuju kompleks pertokoan dan tempat-tempat hiburan yang biasanya dijadikan tempat menjual miras dan membawa prostitusi, selanjutnya massa melakukan pengrusakan dengan cara melempar dengan batu dan merusak dengan pentungan kayu, pentungan besi dan senjata tajam /parang :
  • Toserba intisari lantai II dilempar hingga etalas toko pecah.
  • Toko Hero di Jln.P.Irian dilempar hingga kaca toko pecah.
  • Toko Asia di Jln.P.Irian dilempar hingga kaca toko pecah.
  • Hotel Kartika dirusak dan kasur busa hotel dibakar di Jalan Raya.
  • Hotel Anugrah Inn di rusak meliputi kaca dan isi perabotan Hotel diruang Resepsionis dan ruang penerima tamu hotel.
  • Penginapan WatiLembah di jln.P.Batam dilempar hingga kaca bangunan tempat/hotel pecah.
  • Rumah makan Arisa di Jln.P.Batam Kel. Moenko dibakar dan seluruh minuman keras dikeluarkan dan dipecahkan di Jalan Raya dan sebagaian lagi dibakar.
Pkl. 23.00 Wita. Massa membubarkan diri, situasi dapat terkendalikan[4]



http://syahrulhavianto.blogspot.com/2011/04/sara-suku-agama-dan-ras-antar-golongan.html

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Dcreators